Bagaimana Wanita dan Janda dalam Islam

Bagaimana Wanita dan Janda dalam Islam

Bayangkan cerita dibawah ini,

Seorang pria mendatangimu dan dia merasa bahwa kau bisa dipercaya. Dia telah memperhatikanmu sejak lama dan merasa bahwa kau orang baik serta taat dalam beragama. Dia mengajakmu bicara dan meminta bantuanmu. Dia memiliki sebuah harta yang sangat berharga di rumahnya dan dia ingin kau membantunya menjaga hartanya itu. Harta tersebut telah diberikan pada pria itu sebagai titipan, dia telah lama menjaganya dengan baik dan sekarang dia ingin kau menggantikan dia untuk menjaga harta titipannya itu. Ini adalah harta yang sangat lembut, rapuh dan mungkin butuh energi serta waktu seumur hidupmu untuk menjaganya. Apa yang akan kau lakukan?

Sekarang, berhenti membayangkan.

Ketika seorang pria mempercayakan anak perempuannya pada pria lain dalam pernikahan, sebetulnya pria tersebut sedang menyerahkan hartanya yang sangat berharga. Harta yang diperoleh sebagai titipan dari Allah SWT yang kemudian dia meneruskan titipan itu pada orang yang dia anggap layak dan mampu untuk menjaganya. Hartanya sangat lembut dan rapuh dan membutuhkan energi dan waktu seumur hidup untuk menjaganya.

Jika kita melihat betapa berharganya seorang Muslimah bagi ayah dan Tuhannya, maka kita akan lebih berhati-hati dalam menjaga harta titipan yang sangat berharga itu.

Setelah kematian Khadijah ra, Rasulullah SAW memiliki lebih dari satu istri.

Penting untuk diingat bahwa semua istri Rasulullah SAW (kecuali Aisyah ra) adalah janda -cerai atau karena suaminya meninggal- walaupun begitu, istri-istri Rasulullah SAW tetap dikenal sebagai Ummirul Mukminun (Ibu dari para mukmin).

Di masa sekarang, bahkan dalam lingkungan Muslim, muncul stigma buruk yang melekat pada wanita yang pernah menikah. Padahal seharusnya status pernikahan sebelumnya bagi seorang wanita tidak menjadi halangan untuk menikah. Adalah agamanya, kesantunannya, keshalihannya dan kebajikannya yang harus menjadi syarat penting dalam pernikahan.

Saat pertama kali kita mengenal calon pasangan untuk menikah, otomatis yang kita lihat adalah pribadinya. Awalnya, masing-masing pihak mencoba untuk menunjukkan sikap terbaik agar tampak menarik. Tidak berarti kita mencoba menyembunyikan seseuatu atau berpura-pura; karena ini sangat manusiawi.

Namun, tidak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna, kita semua pasti memiliki kecacatan, kita semua pasti pernah melakukan kesalahan. Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah, apakah kau mampu untuk menerima masa lalu istrimu dan maju dalam hubungan baru? Apakah kau mampu menjaga istrimu sebagai harta titipan yang sangat berharga dan tidak mengungkit status pernikahannya yang terdahulu?

Jawabannya tergantung dari iman seseorang, ketaatannya dalam beragama, kecocokan dan banyak hal lainnya. Ketika memasuki jenjang pernikahan, kedua pasangan harus memiliki niat tulus untuk menjalankan perintah Allah SWT. Jika demikian, sebagai balasannya, Allah SWT akan memberkahi pernikahan kita.

Share