Tawar Menawar Pada Pedagang Kecil
Tadi pagi, di antara beceknya pasar Jombang, aku mengantri untuk dilayani, di tukang ikan.
“Mahal amat, kurangi deh, ikan kayak gini, udah nggak segar,” tawar ibu berambut hasil rebonding itu.
“25ribu itu udah pas Bu, karna udah siang, kalo pagi, nggak kurang dari 30ribu,” jawab penjual ikan.
“Ahhh 20ribu kalo mau, udah sisa-sisa jelek begini kok,” tawar si ibu rebonding.
Mata tua penjual ikan mengerjap pelan, mata tua yang selalu mengundang iba, menatap dagangannya. Masih bertumpuk. Hari mulai beranjak siang. Sebuah anggukan ia berikan. Menyerah pada keadaan. Hidup, tak memberinya banyak pilihan.
Dan tangan tua keriput itu mulai menyisik ikan. Ujung jari melepuh terlalu lama terkena air. Beberapa luka di jari tertusuk tajamnya duri ikan, cukuplah sebagai bukti, bahwa kehidupannya bukanlah kehidupan manis bertabur mawar melati.
Dunia,
Kenapa kita sedemikian kejam pada orang yang lemah?
Mengapa di sebagian semesta diri, kita begitu puas jika berhasil memenangkan penawaran pada orang-orang yang sudah terseok-seok mencari makan?
Apa yang kita dapat dari hasil menawar ?
3 atau 5 ribu?
Akan kaya kah kita dgn uang segitu?
TIDAK..!!!
Uang mungkin terkumpul, tapi keberkahan hidup nggak akan didapat.
Bisa jadi, saat memasak, lupa, lalu gosong dan terbuang, kerugiannya lebih dari 5 ribu. Atau bisa jadi, saat masakan udah matang, anak anak malah kehilangan selera makan, dan minta dibelikan ketoprak atau apalah, sehingga uang yg 5 ribu tadi abis juga, capek memasak nggak dihargai oleh anggota keluarga.
Apalagi menawar dengan bahasa yg tidak baik. “Ikan kayak gini, udah nggak segar, ikan kayak gini, sisa-sisa udah jelek begini,”
Omongan adalah doa.
Setelah deal membeli, bisa jadi ikan itu memang membawa pemakannya menjadi tidak segar, atau ikan itu membawa kejelekan bagi pemakannya.
Hati-hati Bu dengan lisanmu, doa ibu menggetarkan langit, kalimat yg buruk pun bisa menggetarkan langit.
Aku udah bertahun mencoba konsisten menerapkan untuk tidak pernah menawar pedagang kecil. Dengan menulis ini, aku bukannya tidak paham dengan konsekuensi, akan banyak yg menilai “Ahh amal baik kok di publikasikan, riya, nggak dapat pahala,”
Baik, soal pahala atau tidak, biarlah menjadi urusan Allah. Kalau karena menuliskan hal ini, aku dianggap riya, lantas kehilangan pahala atas hal itu, aku ikhlas.
Hanya berharap, semoga tulisan ini mampu membelai banyak hati yang lain, kemudian menjadi konsisten untuk tidak pernah lagi menawar ke pedagang kecil.
Mari kita mulai, membangun perekonomian pedagang kecil.
Saat kita masih meringkuk di kamar ber AC, jam 3 dini hari, kala tubuh masih dibalut oleh selimut wangi dan jiwa dibuai mimpi, pedagang ikan yg tua itu sudah berkubang dengan aroma ikan, mengangkat ikan berbaskom-baskom, menyentuh es batu, mengeluarkan isi perut ikan, dll.
Sungguh bukan kehidupan yang gampang..
Apa ruginya kalau kita melebihkan bayaran, atau minimal, tidak menawar atas harga yg telah dia tetapkan.
Dalam hidup, aku merasakan selalu diberi kejutan kejutan oleh Allah, Sang Pemilik seluruh kerajaan.
Dalam 3 hari ini, karena sibuk kerja, menulis, menjaga anak –anak, aku nggak sempat upload foto gamis jualanku, namun seseorang tetap membeli 3 potong gamis yg dulu pernah aku upload, transaksi 1.620.000.
Aku dapat untung 120ribu.
Alhamdulilah.
Tapi Allah melimpahkan cintaNya dengan menggerakkan hati si pembeli gamis untuk mentransfer lebih. Yg dia transfer 2.2 juta. Untung 120ribu berubah menjadi 700 ribu.
Tadi pagi, pembeli buku dari Banjarmasin, mentransfer 300ribu, seharusnya hanya 121ribu.
Lagi-lagi, Allah mengirim sayangNya dengan cara tak terduga.
Apakah rejeki hebat ini buah dari doa-doaku?
Belum tentu..
Ini bisa jadi, adalah doa dari si tukang ikan, atau bapak penjual tahu, atau ibu tukang giling bumbu, atau bapak tua penjual pisang, dll yang pernah bertransaksi jual beli denganku.
Saat kita tak menawar, mereka ikhlas bilang “Terima kasih”.
“Terima” dan “Kasih”.
Mereka menerima.
Lalu malaikat menerbangkan doa mereka, mengetuk pintu langit, dan kita kelimpahan “Kasih Allah”.
Bukankah sudah jelas, tak ada sekat antara dhuafa dengan Tuhannya, bahwa doa kaum dhuafa, doa orang yg papa, adalah doa yang mampu mengetuk pintu langit.
Lantas kenapa kita mampu memberi kado pada teman yg melahirkan seharga ratusan ribu, atau membelikan kado ulang tahun ratusan ribu pada anak teman yg merayakan ulang tahun di mall, bukankah mereka sudah kaya, kado kado ratusan ribu itu mereka bisa membeli sendiri.
Sementara kita begitu berhitung pada mereka yg telah menggadaikan jam tidur dan tenaga, mereka yang terseret-seret oleh arus nasib kejamnya jaman untuk sekedar mencari uang sebagai bekal pelanjut hidup.
Aku sangat yakin pada seluruh ajaran dalam nilai yang aku imani. Ketika kita memudahkan urusan orang, Allah akan memudahkan urusan kita. Ketika kita memberi satu, Allah akan membalas ratusan kali lipat.
Balasan rejeki tak hanya dalam bentuk materi yg terukur. Bisa dalam bentuk hati yg selalu gembira. Meski sederhana, tapi hati nggak pernah gundah. Nggak pernah grasak-grusuk cemas panik sampai menyerobot rejeki orang. Meski pas pasan, tapi makan enak, tidur selalu nyenyak, itu adalah rejeki yang tak terbilang harganya.
Buktikan saja.
Jangan sesekali menawar pedagang kecil. Selalu mudahkan urusan orang lain.
Jangan abiskan waktu untuk tawar menawar sampai alot, simpan waktu dan tenagamu untuk hal-hal yg lebih bermanfaat.
Waktu buat tawar-menawar dipangkas, jadikan itu waktu untuk bersujud di kala dhuha, atau untuk membaca Al Qur’an agar tentram jiwa dan raga.
Soal rejeki, kejarlah dengan cara yg baik. Serahkan hasilnya hanya pada Allah semata.
Soal menghemat, bukan dengan cara menawar keras pedagang kecil, jangan ditawar, maka Allah akan aktif mengisi ‘tabungan’ kita.
Dan kita akan dibuat takjub oleh cara ‘tangan’ Allah bekerja.
Akan banyak kejutan cinta dari Yang Kuasa.
Yakin seyakin-yakinnya, karena Allah, tak pernah sekalipun ingkar janji.